“Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.” Kalimat itu muncul kembali dalam
benakku. Pernah terluncur dari bibir sahabatku saat percakapan panjang di
telepon itu berakhir pada keputusanku untuk tetap menikahi seorang lelaki yang
menurutnya tidak tepat untukku. Lelaki itu kini menjadi ayah dari calon anakku.
Seminggu kami berdebat. Dia sahabatku tersayang, tempat biasa aku
bercerita banyak, mungkin sambil tergugu. Tentang aku, tentang dia, tentang
ibuku yang dingin, tentang ibunya yang kolot. Tentang adik-adik kelas kami di
sekolah borju yang semakin memprihatinkan. Tentang kampus berembun ditingkahi
gilasan roda kereta di rel. Di tengah kedongkolan akan jadwal telat kereta yang
berbarengan dengan jadwal kuliah Pengantar Lingustik Umum. Sambil berbicara
tentang kakaknya yang sudah menginjak tiga puluh limaan tetapi belum ditemani
pendamping. Kini kami berdebat tentang sesosok lelaki yang berniat menjadi
pendampingku. Dan kini tidak lagi ditingkahi hiruk pikuk suasana Tebet-Depok,
melainkan melalui sambungan telepon kantor.
Temanku ini yang bertugas
“mewawancarai” lelaki itu. Pada awalnya begitu banyak kesamaan yang diceritakan
temanku itu tentangnya. Katanya aku begitu banyak miripnya dengan lelaki itu.
Aku suka berpetualang, begitu juga dia yang suka kemping ke sana ke mari. Ketika
menelisik lebih jauh dirinya, banyak juga perbedaan dalam diri kami. Dan temanku
yang pertama kali menunjukkan itu. Ternyata ia bukan orang berada, karena itu
dulu ia harus mengalah berhenti dari kuliahnya demi adiknya, dan dia harus
bekerja. Padahal saat itu ia baru saja mencicipi semester tiga informatikanya.
Saat ia bingung harus memikirkan bagaimana mencari tambahan biaya untuk keluarga
–karena ayahnya baru saja diPHK—mungkin aku sedang duduk-duduk bersama teman
kuliahku sambil bersenda di kursi taman kampus. Lalu saat itu ia harus rela
hanya kuliah diploma satu demi menggenggam sebuah ijazah selain ijazah SMU.
Karena itulah, kemudian mencari definisi sepadan menjadi sangat sulit
bagi kami. Dan temanku tersayang yang pertama kali melontarkan bahwa mungkin aku
bukan untuk lelaki itu dan dia bukan untuk aku. Berhari-hari aku mencari
jawaban. Apakah tesis itu benar adanya? Semua yang aku tanya rata-rata menjawab
demikian. Terlebih lagi kakak ipar lelakiku. Lelaki itu tidak pantas untukku.
Entah mengapa ada satu sisi nuraniku yang mengatakan itu tidak benar.
Apakah kalau aku lulusan sarjana sementara calon suamiku hanya lulus diploma
satu, menjadikan kami tidak serasi satu sama lain? Apakah dengan kewajibannya
secara ekonomi terhadap keluarga menjadikannya tidak pantas untukku? Lalu
bagaimana dengan Muhammad? Apakah ia tidak layak untuk Khadijah? Hanya karena
Muhammad seorang lelaki miskin?
Mungkin aku yang terlalu naif atau
temanku yang realistis. Aku tidak tahu. Mungkin orang bilang aku gila. Tapi aku
tidak bisa menafikan satu suara yang mengatakan bahwa semua itu atribut dunia
yang sifatnya relatif, serba tidak pasti, dan sementara. Dan aku tidak ingin
keputusanku aku sandarkan pada hal-hal yang aku pikir tidak sesuai dengan
orientasiku. Kampung akhirat. Akhirnya kami mendapatkan kesimpulan yang bertolak
belakang. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menikahi lelaki itu.
“Jadi
aku berhak mendapatkan yang terbaik, sementara dia nggak? Seorang residivis pun
berhak, kau tau?!” tangkisku sewot. Sementara di ujung telepon, suara khawatir
temanku terdengar semakin perlahan.
“Aku pengen kamu mendapat yang
terbaik. Itu aja,” ujarnya putus asa.
“Ya, aku mengerti,” lirihku. “Aku
hanya merasa aku bukan apa-apa. Tidak pantas aku minta yang terbaik. Aku sudah
curhat sama Allah, dan aku hanya menemukan jawaban ini. Doakan aku ya. Semoga
ini benar-benar keputusan dari Allah. Semoga ini yang terbaik.” Kalimat itu yang
terakhir aku ucapkan kepadanya.
Pagi agung, saat sebuah janji nikah
diucapkan lelaki itu di depan ayahku. Sebutir air mata jatuh dari bening mata
temanku. Tapi bibirnya membentuk senyum untukku. Doakan aku, sayang… doakan aku,
bisikku.
Doakan Aku, Sayang
Jumat, 04 Januari 2013
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
05.03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar