Suatu hari, seorang ahli 'Manajemen Waktu' berbicara di depan sekelompok 
mahasiswa bisnis, dan ia memakai ilustrasi yg tidak akan dengan mudah dilupakan 
oleh para siswanya.
Ketika dia berdiri dihadapan siswanya dia berkata: 
"Baiklah, sekarang waktunya kuis " Kemudian dia mengeluarkan toples berukuran 
galon yg bermulut cukup lebar, dan meletakkannya di atas meja.
Lalu ia 
juga mengeluarkan sekitar selusin batu berukuran segenggam tangan dan meletakkan 
dengan hati- hati batu-batu itu kedalam toples.
Ketika batu itu memenuhi 
toples sampai ke ujung atas dan tidak ada batu lagi yg muat untuk masuk ke 
dalamnya, dia bertanya:" Apakah toples ini sudah penuh?"
Semua siswanya 
serentak menjawab, "Sudah!"
Kemudian dia berkata, "Benarkah?"
Dia 
lalu meraih dari bawah meja sekeranjang kerikil. Lalu dia memasukkan 
kerikil-kerikil itu ke dalam toples sambil sedikit mengguncang-guncangkannya, 
sehingga kerikil itu mendapat tempat diantara celah-celah batu-batu 
itu.
Lalu ia bertanya kepada siswanya sekali lagi: "Apakah toples ini 
sudah penuh?"
Kali ini para siswanya hanya tertegun, "Mungkin belum!", 
salah satu dari siswanya menjawab.
"Bagus!" jawabnya.
Kembali dia 
meraih kebawah meja dan mengeluarkan sekeranjang pasir. Dia mulai memasukkan 
pasir itu ke dalam toples, dan pasir itu dengan mudah langsung memenuhi ruang- 
ruang kosong diantara kerikil dan bebatuan.
Sekali lagi dia bertanya, 
"Apakah toples ini sudah penuh?"
"Belum!" serentak para siswanya menjawab 
sekali lagi dia berkata, "Bagus!"
Lalu ia mengambil sebotol air dan mulai 
menyiramkan air ke dalam toples, sampai toples itu terisi penuh hingga ke ujung 
atas.
Lalu si Ahli Manajemen Waktu ini memandang kpd para siswanya dan 
bertanya: "Apakah maksud dari ilustrasi ini?"
Seorang siswanya yg 
antusias langsung menjawab, "Maksudnya, betapapun penuhnya jadwalmu, jika kamu 
berusaha kamu masih dapat menyisipkan jadwal lain kedalamnya!"
"Bukan!", 
jawab si ahli, "Bukan itu maksudnya. Sebenarnya ilustrasi ini mengajarkan kita 
bahwa :
JIKA BUKAN BATU BESAR YANG PERTAMA KALI KAMU MASUKKAN, MAKA KAMU 
TIDAK AKAN PERNAH DAPAT MEMASUKKAN BATU BESAR ITU KE DALAM TOPLES 
TERSEBUT.
"Apakah batu-batu besar dalam hidupmu? Mungkin anak-anakmu, 
suami/istrimu, orang-orang yg kamu sayangi, persahabatanmu, kesehatanmu, 
mimpi-mimpimu. Hal-hal yg kamu anggap paling berharga dalam 
hidupmu.
Ingatlah untuk selalu meletakkan batu-batu besar tersebut 
sebagai yg pertama, atau kamu tidak akan pernah punya waktu untuk 
memperhatikannya.
Jika kamu mendahulukan hal-hal yang kecil dalam 
prioritas waktumu, maka kamu hanya memenuhi hidupmu dengan hal-hal yang kecil, 
kamu tidak akan punya waktu untuk melakukan hal yang besar dan berharga dalam 
hidupmu". 
Ilustrasi Manajemen waktu
Jumat, 04 Januari 2013
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
19.47
0
komentar
 
Pakai Kerudung Tapi Tetap Seksi
Salah satu ciri fisik seorang wanita salehah adalah suka berpakaian sopan, dan 
selalu mengenakan busana yang tertib menutupi aurat. Banyak kaum hawa yang 
tampak berpakaian tapi pada hakikatnya mereka sama saja dengan "telanjang"- 
busana mereka sengaja dibuat hanya menutupi bagian-bagian tertentu saja. Kendati 
kain busana dirancang menutupi sekujur tubuh, namun lekuk molek dan bentuk 
tubuhnya masih tetap tampak jelas dimata yang memandang. "Buat apa pake 
kerudung, kalau masih tetap ingin tampil seksi di depan umum."timpal suami 
penulis yang kebetulan bekerja di perusahaan milik Aa Gym, dan mengaku jarang 
"menikmati" pemandangan yang penulis utarakan.
Kesimpulan yang penulis 
kemukakan pada paragraf awal, penulis ambil setelah membuka terjemahan Al Qurán 
Nur Karim hadiah Kerajaan Saudi, halaman 678, surat Al Ahzab ayat 59. Bunyi 
firman-Nya adalah : "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak 
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min : "Hendaklah mereka mengulurkan 
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah 
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun 
lagi Maha Penyayang." Kesimpulan itu diperkuat pula oleh pelajaran yang penulis 
dapatkan dari pengajian rutin di Masjid Al Falah. Ustadzah Dyah Kusumastuti 
pemateri saat itu menjelaskan, bahwa jilbab atau kerudung adalah model busana 
yang dirancang untuk melindungi seluruh tubuh, terutama tubuh bagian atas, 
kecuali muka dan telapak tangan. KH Ujang Muhammad, pembimbing jamaah ketika 
penulis menunaikan ibadah umrahpun memberikan contoh yang lebih tegas dan 
konkret kepada penulis : "Pakaian yang menutupi aurat itu, jelasnya seperti yang 
ibu-ibu kenakan pada saat melaksanakan thawaf dan sa'i, waktu menunaikan umrah 
seperti sekarang ini."
Dari pelajaran-pelajaran itu, akhirnya saya bisa 
memetik hikmah, bahwasanya Allah mmerintahkan wanita berpakaian rapat agar 
wanita yang beriman bisa dibedakan dari wanita yang tak beriman. Dengan 
berpakaian seperti yang telah disyariátkan itu, wanita berimanpun tercegah dari 
upaya-upaya kaum munafik yang sering berniat atau berlaku keonaran terhadap kaum 
muslimah.
***
Suami penulis pernah mewanti-wanti, bahwasanya salah 
satu fitrah wanita adalah rasa malu. Fitrah yang terejawantahkan kedalam sifat 
malu (bukan dalam pengertian rendah diri) itu tersirat dari caranya berpakaian. 
Wanita yang berjilbab rapat, seperti apa yang dijelaskan Ustadzah Masjid Al 
Falah maupun KH Ujang Muhammad, menandakan keistiqamahannya dalam menjaga fitrah 
atau rasa malunya agar tetap utuh. Sedang wanita yang masih fifty-fifty, atau 
sama sekali enggan berpakaian sesuai syar'i, maka ia berarti 'setengah' atau 
seluruhnya ingkar dari fitrahnya sebagai wanita.
"Terus, apa yang harus 
Ummi lakukan agar fitrah Ummi sebagai wanita tetap utuh, Bi ?"
Suami 
penulis tak langsung menjawab pertanyaan itu. Dia bangkit menuju rak buku, 
lantas kembali menyodorkan kitab terjemahan Al Qurán cetakan "pemkot" Madinah Al 
Munawwarah. Setelah membaca taúdz dan basmalah, suami membacakan salah satu ayat 
dalam surat An Nuur. Usai melantunkan satu ayat dari surat An Nuur itu, diapun 
membacakan tafsir terjemahannya. Bunyinya : "Katakanlah kepada wanita yang 
beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, 
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak 
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain tudung ke dadanya, dan 
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada: suami mereka, ayah mereka, 
ayah suami mereka, putera-putera mereka, putera-putera suami mereka, 
saudara-saudara lelaki mereka, putera-putera saudara lelaki mereka, 
putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, hamba-hamba yang 
mereka miliki, pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, 
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita." (Q.S. 24 : 
31)
"Itulah sebabnya Ummi, kenapa Abi dulu mensyaratkan agar Ummi 
berjilbab dulu sebelum menikah dengan Abi."ucap suami sambil meletakkan tafsir 
qurán ke atas rak buku.
"Alah, tapi Abi suka juga 'kan melihat wanita 
berkerudung tapi tampak seksi?" timpal penulis dengan maksud 
menggoda.
"Lho, bagaimana sih Ummi ini ? Karena Abi, kawan-kawan Abi, dan 
semua lelaki pada lazimnya mudah sekali tergoda, maka tugas Ummi dan kawan-kawan 
Ummi-lah untuk mendakwahi sesama kaumnya. Jangan sampai Abi, kaumnya Abi, atau 
ada lelaki yang terjerumus dan tergoda, gara-gara penampilan seronok seorang 
wanita yang notabene adalah muslimah. Itu 'kan sama saja mendzhalimi lelaki, dan 
mendzhalimi Ummi juga, kalau Abi sampai tergoda." balas suami penulis dengan 
nada menggoda pula.
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
05.07
0
komentar
 
Doakan Aku, Sayang
“Kamu berhak mendapatkan yang terbaik.” Kalimat itu muncul kembali dalam 
benakku. Pernah terluncur dari bibir sahabatku saat percakapan panjang di 
telepon itu berakhir pada keputusanku untuk tetap menikahi seorang lelaki yang 
menurutnya tidak tepat untukku. Lelaki itu kini menjadi ayah dari calon anakku. 
Seminggu kami berdebat. Dia sahabatku tersayang, tempat biasa aku 
bercerita banyak, mungkin sambil tergugu. Tentang aku, tentang dia, tentang 
ibuku yang dingin, tentang ibunya yang kolot. Tentang adik-adik kelas kami di 
sekolah borju yang semakin memprihatinkan. Tentang kampus berembun ditingkahi 
gilasan roda kereta di rel. Di tengah kedongkolan akan jadwal telat kereta yang 
berbarengan dengan jadwal kuliah Pengantar Lingustik Umum. Sambil berbicara 
tentang kakaknya yang sudah menginjak tiga puluh limaan tetapi belum ditemani 
pendamping. Kini kami berdebat tentang sesosok lelaki yang berniat menjadi 
pendampingku. Dan kini tidak lagi ditingkahi hiruk pikuk suasana Tebet-Depok, 
melainkan melalui sambungan telepon kantor. 
Temanku ini yang bertugas 
“mewawancarai” lelaki itu. Pada awalnya begitu banyak kesamaan yang diceritakan 
temanku itu tentangnya. Katanya aku begitu banyak miripnya dengan lelaki itu. 
Aku suka berpetualang, begitu juga dia yang suka kemping ke sana ke mari. Ketika 
menelisik lebih jauh dirinya, banyak juga perbedaan dalam diri kami. Dan temanku 
yang pertama kali menunjukkan itu. Ternyata ia bukan orang berada, karena itu 
dulu ia harus mengalah berhenti dari kuliahnya demi adiknya, dan dia harus 
bekerja. Padahal saat itu ia baru saja mencicipi semester tiga informatikanya. 
Saat ia bingung harus memikirkan bagaimana mencari tambahan biaya untuk keluarga 
–karena ayahnya baru saja diPHK—mungkin aku sedang duduk-duduk bersama teman 
kuliahku sambil bersenda di kursi taman kampus. Lalu saat itu ia harus rela 
hanya kuliah diploma satu demi menggenggam sebuah ijazah selain ijazah SMU. 
Karena itulah, kemudian mencari definisi sepadan menjadi sangat sulit 
bagi kami. Dan temanku tersayang yang pertama kali melontarkan bahwa mungkin aku 
bukan untuk lelaki itu dan dia bukan untuk aku. Berhari-hari aku mencari 
jawaban. Apakah tesis itu benar adanya? Semua yang aku tanya rata-rata menjawab 
demikian. Terlebih lagi kakak ipar lelakiku. Lelaki itu tidak pantas untukku. 
Entah mengapa ada satu sisi nuraniku yang mengatakan itu tidak benar. 
Apakah kalau aku lulusan sarjana sementara calon suamiku hanya lulus diploma 
satu, menjadikan kami tidak serasi satu sama lain? Apakah dengan kewajibannya 
secara ekonomi terhadap keluarga menjadikannya tidak pantas untukku? Lalu 
bagaimana dengan Muhammad? Apakah ia tidak layak untuk Khadijah? Hanya karena 
Muhammad seorang lelaki miskin? 
Mungkin aku yang terlalu naif atau 
temanku yang realistis. Aku tidak tahu. Mungkin orang bilang aku gila. Tapi aku 
tidak bisa menafikan satu suara yang mengatakan bahwa semua itu atribut dunia 
yang sifatnya relatif, serba tidak pasti, dan sementara. Dan aku tidak ingin 
keputusanku aku sandarkan pada hal-hal yang aku pikir tidak sesuai dengan 
orientasiku. Kampung akhirat. Akhirnya kami mendapatkan kesimpulan yang bertolak 
belakang. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menikahi lelaki itu. 
“Jadi 
aku berhak mendapatkan yang terbaik, sementara dia nggak? Seorang residivis pun 
berhak, kau tau?!” tangkisku sewot. Sementara di ujung telepon, suara khawatir 
temanku terdengar semakin perlahan. 
“Aku pengen kamu mendapat yang 
terbaik. Itu aja,” ujarnya putus asa. 
“Ya, aku mengerti,” lirihku. “Aku 
hanya merasa aku bukan apa-apa. Tidak pantas aku minta yang terbaik. Aku sudah 
curhat sama Allah, dan aku hanya menemukan jawaban ini. Doakan aku ya. Semoga 
ini benar-benar keputusan dari Allah. Semoga ini yang terbaik.” Kalimat itu yang 
terakhir aku ucapkan kepadanya. 
Pagi agung, saat sebuah janji nikah 
diucapkan lelaki itu di depan ayahku. Sebutir air mata jatuh dari bening mata 
temanku. Tapi bibirnya membentuk senyum untukku. Doakan aku, sayang… doakan aku, 
bisikku. 
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
05.03
0
komentar
 
Jaga Dermagamu, Dik!
“Dik, jangan gegabah seperti itu, pikirkan dulu masak-masak dampaknya kelak. 
Sayang jika kau nodai apa yang sudah dengan susah payah kau bangun dan bina 
selama ini. Bersabarlah, saatnya pasti akan tiba. Saat yang telah diputuskan 
Allah sejak kau dalam rahim ibumu. Pada hari yang dijanjikan itu, pasti akan 
bersua jua dirimu dengannya.” 
“Adik sudah cukup lelah bersabar, kak. 
Sampai kapan adik harus menunggu? Sementara detik demi detik terus berpacu, adik 
sudah tidak muda lagi sekarang” 
“Semua wanita memiliki fitrah yang sama, 
ingin segera membina sebuah keluarga. Tapi jodoh itu kan Allah yang mengatur. 
Kau tidak sendiri, dik! Masih banyak saudari-saudarimu yang usianya jauh lebih 
tua darimu juga belum diperkenankan Allah untuk memikul amanah itu. Kau sendiri 
tahu kan berapa umur kakak ketika menikah...” 
“Ya, kalau pada akhirnya 
happy ending seperti kakak...Kak, semua saudara seperjuangan juga sudah angkat 
tangan membantu mempertemukan adik dengan laki-laki pilihan itu, terus apa nggak 
boleh kalau kemudian adik berusaha sendiri?” 
“Adikku sayang, bukan 
berarti kau tidak boleh mencari sendiri. Tapi kecenderungan rasa kita pada 
seseorang biasanya akan membutakan mata hati kita karena semua yang ada pada si 
dia akan terlihat begitu indah tanpa cela. Cukuplah kakak yang mengalaminya. 
Ingat, dik, sesal itu selalu datang diakhir cerita” 
“Tapi laki-laki dari 
kantor pusat itu orang baik, kak! Dia rajin sholat, santun dan ikut pengajian 
rutin. Menurut teman-temanku sih begitu...” 
“Teman-temanmu yang mana? 
Teman-teman kantor yang kau bilang biasa dugem di kafe-kafe sampai pagi? Sudah 
berapa kali kakak bilang jauhi mereka! Dan laki-laki itu, apakah bisa disebut 
laki-laki baik kalau dia tak pernah absen mengirim puisi-puisi sentimentil 
untukmu? Jangan-jangan dia juga biasa mengirim puisi-puisi itu ke 
perempuan-perempuan lain. Atau gara-gara dia selalu mengirim sms untuk 
mengingatkanmu sholat, lalu kau anggap dia itu laki-laki baik? Ironisnya, 
mengapa dia tidak mengirim sms yang sama kepada teman-temanmu yang lain supaya 
mereka juga ingat sholat...” 
“Ah, pasti kakak mau bilang bahwa dia bukan 
laki-laki yang tepat untuk adik, kan? Kak, yang namanya laki-laki sholeh itu 
jauuuuh...jauh di ujung laut sana. Kalaupun dia mau berlabuh, pasti akan memilih 
dermaga yang bagus. Dermaga yang cantik, pintar, kaya, tinggi, putih bersih, 
dst...dst! Kalau seperti aku dengan tampang cuma nilai enam, IQ standar, pegawai 
biasa dan kulit sawo kematangan sih nggak bakal masuk hitungan. Waiting listnya 
kepanjangan, kak!” 
“Ya, berusaha dong menjadi dermaga yang bagus. 
Dermaga yang bagus kan nggak selalu dengan kriteria seperti itu. Perbaiki 
dermagamu dengan mempercantik akhlak, memperbanyak ibadah, meningkatkan potensi 
diri, dengan izin Allah pasti akan ada yang berlabuh juga.” 
“Kakak nggak 
ngerti sih. Siapa sih yang nggak mau berjodoh dengan laki-laki pilihan yang 
punya tujuan hidup sama dengan kita. Laki-laki sholeh, yang akan membimbing 
istri dan anak-anak ke surga...Kalaulah pada akhirnya adik berjodoh dengan 
laki-laki yang “biasa-biasa saja”, bukan sesuatu yang nggak mungkin kan kalau 
adik yang justru membimbing dia ke arah sana?” 
“Dik, kakak sangat 
mengerti kegundahan hatimu, karena kakak pernah mengalami masa-masa usia krisis 
sepertimu. Dalam keputus-asaan, kakak mencoba mencari si dia dengan cara kakak 
sendiri, tabrak sana sini. Kakak pun dulu mempunyai prinsip yang sama denganmu, 
bertekat akan bimbing si dia menjadi laki-laki yang sholeh. Mencari-cari waktu 
agar sering bersama, mengenalkan si dia lebih jauh dengan Islam. Meski tak 
pernah dijamah, tapi itu namanya sudah berdua-duaan, berkhalwat! Toh, semua 
berakhir mengecewakan, si dia tak seperti yang kakak harapkan. Mudahnya 
berpaling ke perempuan lain, karena dengan kakak banyak yang tak bolehnya. 
Begitu seterusnya, beberapa bahkan ada yang sudah ikut pengajian rutin sebelum 
kenal dengan kakak. Mereka sempat membuat hari-hari kakak begitu berbunga-bunga, 
sekaligus menderita! Karena semua bunga itu semu, dan tak akan pernah menjadi 
buah. Kakak merasa lelah, capek! Ternyata apa yang kakak harapkan dengan 
melanggar takdir itu pun tak pernah membuahkan hasil. Kakak telah mencoreng muka 
sendiri, hina rasanya dimata Allah, dan malu dengan teman-teman seperjuangan. 
Tapi Allah Maha Pemurah dan Penyayang, Allah mengirimkan seorang laki-laki 
pilihanNya, seorang yang begitu baik untuk kakak. Ketahuilah dik, rasa bersalah 
itu tidak pernah hilang, meski si Abang ikhlas dan mau mengerti dengan “story” 
kakak sebelum menikah dengannya.” 
“Lalu adik harus bagaimana mengisi 
hari-hari sendiri, kak? Hampa rasanya, ilmu-ilmu yang adik terima tentang 
membina rumah tangga sakinah, tentang mendidik dan membina anak, semua itu hanya 
tinggal sebuah teori indah dalam khayal. Mubazir, karena nggak jelas kapan akan 
dipraktekkan. Bagaimana jika sampai akhir hayat adik ditakdirkan tetap sendiri, 
karena laki-laki pilihan itu tak kunjung datang?” 
“Adikku sayang, 
percayalah pada takdir Allah dan bersabarlah. Mungkin Allah belum mengabulkan 
doa-doamu karena belum kau panjatkan dengan segenap kepasrahan, belum kau lepas 
keangkuhanmu karena kau berusaha menerjang ketetapanNya yang berlaku bagimu. 
Mungkin juga belum kau tinggalkan segala hal yang mendekati kemaksiatan. Itulah 
yang menjauhkan terkabulnya doa-doa kita,dik. Ketahuilah jika Allah memang 
berkehendak, jodoh adik bisa datang tanpa disangka dan diduga. Akan tetapi jika 
kehendak Allah sebaliknya, Insya Allah, itulah hal terbaik yang ditetapkan Allah 
bagi dirimu. Mungkin, Allah berkehendak memperjodohkan adik dengan bidadarinya 
di surga kelak ” 
*** 
“Saya terima nikahnya Muthmainnah 
binti Syaiful dengan mas kawin....” 
“Alhamdulillah,ya Allah... Kak, hari 
yang dijanjikan itu akhirnya datang juga. Laki-laki pilihan itu kini mengikat 
janji untuk berlabuh di dermagaku...” 
“Subhanallah! Biarkan bulir-bulir 
bahagia itu luruh di matamu,dik. Kakak bangga, kesabaran adik pada akhirnya 
berbuah kebahagiaan. Kesucian dermagamu telah kau jaga dengan baik, dan hanya 
kau peruntukkan bagi laki-laki sholeh yang mulai saat ini akan menemanimu 
menempuh bahtera kehidupan, dunia akhirat. Barokallah, semoga Allah memberkatimu 
dan memberikan berkah atas kamu serta menyatukan kalian berdua dalam kebaikan, 
adikku sayang...” 
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
04.59
0
komentar
 
Bersahabat dengan Alhamdulillah
Salah satu gizi spiritual dalam menghadapi kehidupan adalah bersahabat dengan 
“alhamdulillah” yang artinya segala puji bagi Allah Swt. Orang-orang yang sering 
bersahabat dengan “gizi spiritual” ini, insyaAllah hidupnya akan lebih bahagia 
dibanding yang mereka duga.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah 
menitipkan kepadaku seorang suami, sebab banyak orang yang ingin bersuami namun 
belum menemukannya. Suami dengan segala keangkuhannya, menyebabkan hambamu ini 
mampu belajar sabar.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menitipkan 
kepadaku seorang istri, sebab banyak orang yang ingin beristri namun belum 
menemukannya. Istri dengan segala kesulitannya untuk dididik, menyebabkan 
hambamu ini harus banyak belajar ilmu “Andragogy”, yaitu pendidikan untuk 
orang-orang dewasa.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menitipkan 
kepadaku beberapa anak, sebab banyak orang yang ingin punya anak namun belum 
engkau izinkan dan juga banyak yang belum punya anak karena memang belum ketemu 
jodoh. Anak dengan segala kesulitannya untuk dinasehati, menyebabkan hambamu ini 
harus banyak menambah ilmu agar sesuai dengan perkembangan zaman anak-anak. 
Dengan kehadiran anak-anak, justru menyebabkan hambamu malu kalau mau bertengkar 
dengan istri dan suami.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau menitipkan 
kepadaku seorang atasan pemarah dan sering mengungkit-ngungkit berbagai masalah, 
sebab banyak orang yang tidak punya atasan, bukan karena dirinya atasan tapi 
karena dirinya menganggur. Dengan atasan pemarah hambamu berkesempatan untuk 
mendoakan semoga beliau segera sadar bahwa kemarahan akan menghancurkan siklus 
kehidupan dirinya sendiri.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau menitipkan 
kepadaku banyak karyawan, yang sebagiannya suka demo minta tuntutan gaji dan 
kesejahteraan lainnya, sebab banyak orang tidak punya karyawan sebab sudah lima 
tahun belakangan ini perusahaannya gulung tikar dan bahkan tikarnyapun sampai 
tidak ada yang digulung. Dengan punya karyawan, semoga hambamu bisa menjadi 
salah satu jalan rizki bagi mereka dengan seizin Engkau ya 
Allah.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah menitipkan orang-orang 
disekelilingku sebagian ada yang menyakiti, walaupun hamba-Mu ini telah berusaha 
untuk berbuat baik kepada siapapun sekuat kemampuan. Sebab, banyak orang yang 
tidak pernah disakiti orang lain karena dalam hidupnya tidak pernah bergaul 
dengan masyarakat banyak. Semoga dengan disakiti dan hambamu tetap ingin berbuat 
baik dengan yang menyakiti menyebabkan Engkau akan mengabulkan doa-doa orang 
yang terdhzolimi ini.
Alhamdulillah ya Allah, Engkau memberi kesempatan 
kepadaku, kuliah tidak sesuai dengan jurusan pilihan pertama, sebab banyak orang 
yang tidak pernah menikmati jurusan kuliah karena kekurangan dana untuk memenuhi 
keinginannya kuliah. Dengan kuliah tidak sesuai jurusan, semoga akan punya lebih 
dari satu keahlian, keahlian pertama adalah jurusan ketika kuliah dan keahlian 
lainnya adalah mempelajari sendiri banyak hal yang dulu 
dicita-citakan.
Sahabat CyberMQ,
Banyak hal didunia ini yang bisa 
kita syukuri dengan mengucapkan “Alhamdulillah”, dan dengan sering mengucapkan 
alhamdulillah, milyaran peluang prestasi akan mengejar-ngejar 
kita.
Banyak hal didunia ini yang kita tidak siap menyukuri dengan 
mengucapkan “Alhamdulillah dan dengan sering merasa berat dan bahkan enggan 
mengucapkan alhamdulillah, milyaran peluang prestasi akan lari meninggalkan 
kita.
Berani hadapi tantangan bersahabat dengan alhamdulillah agar hidup 
dikejar-kejar prestasi??? Bagaimana pendapat sahabat!!!
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
04.52
0
komentar
 
PRIBADI MUSLIM BERPRESTASI
Senin, 21 November 2011
Sekiranya kita hendak berbicara tentang Islam dan kemuliaannya, ternyata tidaklah cukup hanya berbicara mengenai ibadah ritual belaka. Tidaklah cukup hanya berbicara seputar shaum, shalat, zakat, dan haji. Begitupun jikalau kita berbicara tentang peninggalan Rasulullah SAW, maka tidak cukup hanya mengingat indahnya senyum beliau, tidak hanya sekedar mengenang keramah-tamahan dan kelemah-lembutan tutur katanya, tetapi harus kita lengkapi pula dengan bentuk pribadi lain dari Rasulullah, yaitu : beliau adalah orang yang sangat menyukai dan mencintai prestasi!
Hampir setiap perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW selalu terjaga mutunya. Begitu mempesona kualitasnya. Shalat beliau adalah shalat yang bermutu tinggi, shalat yang prestatif, khusyuk namanya. Amal-amal beliau merupakan amal-amal yang terpelihara kualitasnya, bermutu tinggi, ikhlas namanya. Demikian juga keberaniannya, tafakurnya, dan aneka kiprah hidup keseharian lainnya. Seluruhnya senantiasa dijaga untuk suatu mutu yang tertinggi.
Ya, beliau adalah pribadi yang sangat menjaga prestasi dan mempertahankan kualitas terbaik dari apa yang sanggup dilakukannya. Tidak heran kalau Allah Azza wa Jalla menegaskan, "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah ..." (QS. Al Ahzab [33] : 21)
Kalau ada yang bertanya, mengapa sekarang umat Islam belum ditakdirkan unggul dalam kaitan kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi ini? Seandainya kita mau jujur dan sudi merenung, mungkin ada hal yang tertinggal di dalam menyuritauladani pribadi Nabi SAW. Yakni, kita belum terbiasa dengan kata prestasi. Kita masih terasa asing dengan kata kualitas. Dan kita pun kerapkali terperangah manakala mendengar kata unggul. Padahal, itu merupakan bagian yang sangat penting dari peninggalan Rasulullah SAW yang diwariskan untuk umatnya hingga akhir zaman.
Akibat tidak terbiasa dengan istilah-istilah tersebut, kita pun jadinya tidak lagi merasa bersalah andaikata tidak tergolong menjadi orang yang berprestasi. Kita tidak merasa kecewa ketika tidak bisa memberikan yang terbaik dari apa yang bisa kita lakukan. Lihat saja shalat dan shaum kita, yang merupakan amalan yang paling pokok dalam menjalankan syariat Islam. Kita jarang merasa kecewa andaikata shalat kita tidak khusyuk. Kita jarang merasa kecewa manakala bacaan kita kurang indah dan mengena. Kita pun jarang kecewa sekiranya shaum Ramadhan kita berlalu tanpa kita evaluasi mutunya.
Kita memang banyak melakukan hal-hal yang ada dalam aturan agama tetapi kadang-kadang tidak tergerak untuk meningkatkan mutunya atau minimal kecewa dengan mutu yang tidak baik. Tentu saja tidak semua dari kita yang memiliki kebiasaan kurang baik semacam ini. Akan tetapi, kalau berani jujur, mungkin kita termasuk salah satu diantara yang jarang mementingkan kualitas.
Padahal, adalah sudah merupakan sunnatullah bahwa yang mendapatkan predikat terbaik hanyalah orang-orang yang paling berkualitas dalam sisi dan segi apa yang Allah takdirkan ada dalam episode kehidupan dunia ini. Baik dalam urusan duniawi maupun ukhrawi, Allah Azza wa Jalla selalu mementingkan penilaian terbaik dari mutu yang bisa dilakukan.
Misalnya saja shalat, "Qadaflahal mu’minuun. Alladziina hum fii shalaatihim" (QS. Al Mu’minuun [23] : 1-2). Amat sangat berbahagia serta beruntung bagi orang yang khusyuk dalam shalatnya. Artinya, shalat yang terpelihara mutunya, yang dilakukan oleh orang yang benar-benar menjaga kualitas shalatnya. Sebaliknya, "Fawailullilmushalliin. Alladziina hum’an shalatihim saahuun" (QS. Al Maa’uun [107] : 4-5). Kecelakaanlah bagi orang-orang yang lalai dalam shalatnya!
Amal baru diterima kalau benar-benar bermutu tinggi ikhlasnya. Allah Azza wa Jalla berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus" (QS. Al Bayyinah [98] : 5). Allah pun tidak memerintahkan kita, kecuali menyempurnakan amal-amal ini semata-mata karena Allah. Ada riya sedikit saja, pahala amalan kita pun tidak akan diterima oleh Allah Azza wa Jalla. Ini dalam urusan ukhrawi.
Demikian juga dalam urusan duniawi produk-produk yang unggul selalu lebih mendapat tempat di masyarakat. Lebih mendapatkan kedudukan dan penghargaan sesuai dengan tingkat keunggulannya. Para pemuda yang unggul juga bisa bermamfaat lebih banyak daripada orang-orang yang tidak memelihara dan meningkatkan mutu keunggulannya.
Pendek kata, siapapun yang ingin memahami Islam secara lebih cocok dengan apa-apa yang telah dicontohkan Rasul, maka bagian yang harus menjadi pedoman hidup adalah bahwa kita harus tetap tergolong menjadi orang yang menikmati perbuatan dan karya terbaik, yang paling berkulitas. Prestasi dan keunggulan adalah bagian yang harus menjadi lekat menyatu dalam perilaku kita sehari-hari.
Kita harus menikmati karya terbaik kita, ibadah terbaik kita, serta amalan terbaik yang harus kita tingkatkan. Tubuh memberikan karya terbaik sesuai dengan syariat dunia sementara hati memberikan keikhlasan terbaik sesuai dengan syariat agama. Insya Allah, di dunia kita akan memperoleh tempat terbaik dan di akhirat pun mudah-mudahan mendapatkan tempat dan balasan terbaik pula.
Tubuh seratus persen bersimbah peluh berkuah keringat dalam memberikan upaya terbaik, otak seratus persen digunakan untuk mengatur strategi yang paling jitu dan paling mutakhir, dan hati pun seratus persen memberikan tawakal serta ikhlas terbaik, maka kita pun akan puas menjalani hidup yang singkat ini dengan perbuatan yang Insya Allah tertinggi dan bermutu. Inilah justru yang dikhendaki oleh Al Islam, yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yang mulia, para sahabatnya yang terhormat, dan orang-orang shaleh sesudahnya.
Oleh sebab itu, bangkitlah dan jangan ditunda-tunda lagi untuk menjadi seorang pribadi muslim yang berprestasi, yang unggul dalam potensi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada setiap diri hamba-hambanya. Kitalah sebenarnya yang paling berhak menjadi manusia terbaik, yang mampu menggenggam dunia ini, daripada mereka yang ingkar, tidak mengakui bahwa segala potensi dan kesuksesan itu adalah anugerah dan karunia Allah SWT, Zat Maha Pencipta dan Maha Penguasa atas jagat raya alam semesta dan segala isinya ini!
Ingat, wahai hamba-hamba Allah, "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah ...!’ (QS. Ali Imran [3] : 110).
Diposting oleh
Mhd. Amar Faiz, A.Md.
di
04.18
1 komentar
